Rabu, 02 November 2016

Cerpen "Sempurna? Tidak"

SEMPURNA? TIDAK

            Aku masih muda, usiaku baru 16 tahun. Aku seorang pelajar SMA yang memiliki segudang prestasi. Namaku Rani, bukan hanya sebagai pelajar, aku juga seorang model, memiliki otak yang cerdas, mudah bersosialisasi, mempunyai banyak piala kejuaraan, kata orang, akupun berparas rupawan serta dipuja banyak orang.
            Aku akui memang aku bangga, senang, kagum pada diriku sendiri. Diusiaku yang masih remaja, aku sudah memiliki kehidupan yang sempurna. Setidaknya itulah yang dipikirkan orang diluar sana. Seperti saat ini, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, menandakan pelajaran akan segera dimulai.
“kriing.. kringgg” suar bel telah berbunyi. Aku duduk dimeja paling depan, aku melamun memikirkan kehidupanku yang sempurna kata orang, tapi terlalu datar menurutku. Hingga aku tak sadar jika guru memperhatikanku.
“Rani, jangan melamun disaat jam pelajaran, coba kedepan dan kerjakan soal itu” Perintah Bu Dwi, guru Fisika. Aku maju kedepan dan mengerjakan dengan mudah. Itulah salah satu kehidupanku yang menurutku datar tanpa tantangan.
            Saat pulang sekolah aku harus segera berganti pakaian untuk pemotrertan majalah. Disanalah aku bertemu Rico dan Amanda. Mereka rekan dalam dunia modelku. Awalnya mereka mengajakku untuk berjalan-jalan, mungkin sekedar ke mall. Hingga aku diajak mereka kedunia malam atau biasa mereka sebut diskotik. Aku hanya mengikuti mereka tanpa ikut dalam dunia mereka seperti mabuk dan sebagainya.
            Akun pulang saat dini hari, saat aku bingung akan masuk lewat mana, terdengar suara papa dan mama.
“Dari mana kamu ran? Udah dini hari baru pulang? Mau jadi apa kamu nanti?”kata papa dengan nada yang kasar
“Dari pemotretan, toh papa mama juga senangkan aku menghasilkan uang.” Tanya ku sinis, aku berani berkata begitu karena memang mereka yang menuntutku untuk ikut dunia modeling. Mereka ingin aku menghasilkan uang. Walau aku sempat menikmati kehidupanku itu.
“Jangan berani sama papa mama ya. Sudah salah malah ngelawan kamu. “ jawab papa lagi dengan kasar.
“Kenapa? Mau aku berhenti? Biar uang kalian berkurang?”Aku tau mereka tak mungkin mengijinkanku berhenti sebagai model.
“Sudahlah Ran, kapan gajimu akan cair? Mama harus membayar arisan” Kata mama dengan muka datar.
“Terserah kalian, jangan salahkan Rani jika rani membuat kesalahan.” Aku sudah capek, bukankah mereka tau aku bukan bercita-cita sebagai model. Tapi mereka selalu memaksa. Aku langsung meninggalkan mereka menuju kamar.
            Hari berlanjut, hampir setiap hari aku, Rico dan Amanda pergi ke diskotik. Lama-kelamaan aku mulai masuk kekehidupan mereka. Aku mulai merokok, meminum minuman keras, gaya hidupku yang kebarat-baratan dan berbagai kenakalan remaja lainnya. Aku merasa bebas, melepaskan semua beban yang  aku punya. Aku tidak memikirkan lagi kehidupanku selanjutnya. Yang ada dipikiranku hanya senang dan bersenang senang. Aku mulai berani membolos sekolah, pulang larut malam bahkan pernah hingga pagi hari. Prestasi akademik maupun non akademik menurun, berani melawan orang tua, mulai tertutup dengan orang lain, hanya dikelilingi orang-orang yang salah pergaulan. Kehidupan yang it uterus berlanjut, hingga kelulusan telah tiba.
            Saat kelulusan diumumkan, saat itulah aku tersadar. Aku merasa bosan dengan kehidupan baruku yang monoton. Bukan hanya itu, dulu aku tak ingin menjadi model karena ada cita-cita yang sangat aku inginkan. Menjadi seorang polwan adalah tujuanku. Tapi dengan keadaanku yang sekarang membuatku kehilangan cita-cita yang selalu kuimpikan. Semua telah berubah, semua telah hilang, semua prestasi, kelebihan, moral yang baik yang dulu melekat dihidupku kini telah berubah. Tinggal AKU seorang RANI yang terpuruk menyesali keputusan salah yang pernah kuambil dengan ikut terseret oleh arus kenakalan remaja.
            Selama beberapa bulan aku bingung, aku terpuruk dengan semua apa yang telah terjadi. Tapi aku sadar jika diam tidak akan menghasilkan perubahan. Jika aku yang tidak berusaha mengubahnya, lalu siapa lagi yang akan mengubahnya. Aku pernah gagal, dan tidak akan gagal untuk yang kedua kalinya.
            Tidak menjadi polwan bukan berarti gagal, mungkin ada kesempatan lain yang menungguku untuk menjemputnya. Aku mencoba untuk menulis, berawal dari pengalaman-pengalamanku yang pernah kualami, berlanjut dengan menulis artikel-artikel, menulis novel, dan sebagainya. Aku mulai nyaman menjalani kehidupanku yang sekarang. Mungkin inilah rencana tuhan untukku yang paling baik untuk sekarang, dan kedepannya.